Sahabat,
Tak salah jika kita berdoa memohon pasangan yang sempurna,
Tetapi pada saat yang sama kita juga harus melapangkan dada untuk menerima kekurangan.
Kita boleh memancangkan harapan, tapi kita juga perlu bertanya apa yang sudah kita persiapkan agar layak mendampingi pasangan idaman.
Sahabat,
Ini bukan berarti kita tidak boleh mempunyai keinginan untuk memperbaiki kehidupan kita, rumah tangga kita, serta pasangan kita.
Akan tetapi, semakin besar harapan kita dalam pernikahan semakin sulit kita mencapai kebahagiaan dan kemesraan.
Sebaliknya, semakin tinggi komitmen pernikahan kita akan semakin lebar jalan yang terbentang untuk memperoleh kebahagian dan kepuasan.
Sahabat,
Apa bedanya harapan dan komitmen?
Apa pula pengaruhnya terhadap keutuhan rumah tangga kita?
Harapan terhadap perkawinan menunjukkan apa yang ingin kita dapatkan dalam perkawinan. Bila kita memiliki harapan perkawinan yang sangat besar, sulit bagi kita untuk menerima pasangan apa adanya. Kita akan selalu melihat dia penuh kekurangan. Jika kita menikah karena terpesona oleh penampilan fisiknya, maka kita akan segera kehilangan kemesraan sehingga tidak bisa berlemah lembut begitu pasangan kita sudah tidak memikat lagi.
Sementara itu, komitmen perkawinan lebih menunjukkan rumah tangga seperti apa yang ingin kita bangun. Kerelaan untuk menerima kekurangan, termasuk mengikhlaskan hati menerima kekurangannya membuat kita lebih mudah mensyukuri perkawinan.
Sahabat,
Jika kita melapangkan hati untuk menerima perbedaan, maka kita akan menemukan banyak persamaan.
Dengan menerima perbedaan, maka akan lebih mudah bagi kita untuk melihat kebaikan-kebaikannya.
Sahabat,
mari kita memberi perhatian yang hangat pada pasangan kita,
menerima pasangan kita tanpa syarat,
dan,
ungkapkanlah semua itu dengan kata-kata yang indah
Sahabat,
terimalah ia apa adanya
terimalah kekurangannya dengan keikhlasan hati
maka akan kita temukan cinta yang bersemi indah
Setelah itu, mari kita berupaya memperbaiki dan bukan menuntut untuk sempurna.
Bukankah kita sendiri mempunyai kekurangan, mengapa kita sibuk menuntut pasangan untuk sempurna?
Sahabat, mari kita simak sebuah puisi di bawah ini;
suami yang menikahi kamu tidaklah semulia Rasulullah
tidaklah setakwa Ibrahim as
tidak pula setabah Ayub as,
segagah Musa as
apalagi setampan Yusuf as
justru suamimu hanyalah pria akhir zaman yang punya cita-cita membangun keturunan yang sholeh,
suami yang ingin menjadi pelindung, kamu penghuninya,
suami adalah nahkoda, kamu adalah navigatornya
suami bagaikan balita yang nakal, kamu adalah penuntun kenakalannya
saat suami menjadi raja, kamu nikmati anggur singgasananya
ketika suami menjadi bisa, kamulah penawar obatnya
seandainya suami masinis yang lancang, sabarlah memperingatkannya
pernikahan mengajar kita perlunya iman dan takwa, untuk belajar meniti sabar dan ridho Allah karena memiliki suami yang tak segagah mana justru kamu akan tersentak,
karena kamu bukanlah Khadijah yang begitu sempurna
bukanlah Hajar yang begitu setia dalam sengsara
kamu hanyalah wanita akhir zaman yang berusaha menjadi sholehah……
Sahabat,
Ada amanat yang harus kita emban ketika kita menikah.
Ada ruang untuk saling berbagi.
Ada ruang untuk saling memperbaiki.
Dan bukan saling mengeluhkan, atau menyebut-nyebut kekurangan.
Pahamilah kekhilafannya agar ia merasa ringan dalam memperbaiki, meski bukan berarti kita lantas membiarkan kesalahan.
Berikanlah dukungan dan kehangatan kepadanya sehingga ia berbesar hati menghadapi tantangan-tantangan yang ada di depan.
Tunjukkanlah bahwa kita memang sangat menghargainya, menerimanya dengan tulus, mau mengerti dan bersemangat mendampinginya.
Terimalah ia apa adanya.
Terimalah kekurangannya dengan keikhlasan hati maka akan kita temukan cinta yang bersemi indah.
Sahabat,
Cukup banyak hal sepele yang tampaknya kita anggap telah kita berikan tetapi ternyata hal itu jauh meleset dari dugaan.
Kita bukan mendengar pasangan tetapi mendengar diri sendiri,
kita bukan memberi solusi tapi malah menambah materi.
Kita bukan memberi jalan keluar alih-alih menghakimi.
Kita bukan memberikan jawaban, tetapi malah memberikan pertanyaan.
Kita bukan meringankan tetapi malah memberatkan.
Benarkah?
Sahabat,
kekayaan itu ada di jiwa
dan keping kekayaan itu dimulai dari ketulusan menerima.
dengan kekayaan jiwa kita akan lebih mudah memberikan empati,
lebih mudah untuk memahami,
lebih mudah untuk berbagi
dan
lebih mudah mendengar dengan sepenuh hati.
Sahabat,
Hari ini, ketika kita bermimpi tentang sebuah pernikahan yang romantis sementara ikatan batin di antara kita dan pasangan begitu rapuh,
sudahkah kita berterima kasih kepadanya?
Sudahkah kita meminta maaf atas kesalahan kesalahan kita?
Jika belum, mulailah dengan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan kita dan ungkapkan sebuah panggilan sayang untuknya.
Mulailah dari yang paling mudah,
hatta yang paling remeh atau kecil sekalipun.
Agar cinta bersemi dalam keluarga kita, agar cinta senantiasa berbunga dalam kehidupan kita.
Semoga Allah melindungi kita dari mempersoalkan perbedaan tanpa memahaminya.
Semoga Allah menjauhkan kita dari kesibukan yang membinasakan.
Semoga Allah pula kelak mengukuhkan ikatan perasaan di antara kita dengan kasih sayang, ketulusan, dan kerelaan menerima perbedaan.